Home » Adab yang Hilang dari Frekuensi Publik

Adab yang Hilang dari Frekuensi Publik

Di tengah derasnya arus informasi dan hiburan, media televisi seharusnya menjadi ruang yang mencerdaskan publik. Namun, tayangan XPOSE Trans7 baru-baru ini justru menunjukkan betapa tipisnya batas antara jurnalisme dan hiburan yang sembrono. Dalam salah satu segmennya, muncul narasi yang menggambarkan kehidupan pesantren secara bias diselipi komentar ringan yang berbunyi, “Santrinya minum susu aja kudu jongkok. Emang gini kehidupan di pondok?” Kalimat itu, yang mungkin dimaksudkan sebagai lelucon, berubah menjadi bentuk pelecehan kultural bagi jutaan santri dan keluarga besar pesantren di Indonesia.

Masalahnya bukan sekadar pada kata-kata, melainkan pada cara pandang. Pesantren digambarkan seolah sebagai dunia yang aneh dan ketinggalan zaman. Padahal, kehidupan di dalamnya adalah bagian dari warisan moral bangsa ruang yang melatih kesederhanaan, kedisiplinan, dan penghormatan terhadap ilmu. Kebiasaan yang tampak “unik” di mata orang luar, seperti minum sambil jongkok, sebenarnya merupakan latihan adab, bentuk konkret dari kerendahan hati. Tetapi, di tangan media yang tak peka, tradisi luhur itu justru dijadikan bahan hiburan. Inilah persoalan besar yang seharusnya mengundang refleksi mendalam bagi dunia penyiaran kita.

Sebagai lembaga yang mengklaim diri membawa misi edukatif, Trans7 seharusnya memahami bahwa jurnalisme bukan sekadar soal menarik perhatian publik, melainkan juga menjaga martabat publik. Ketika narasi disusun dengan nada merendahkan, ketika konteks dipotong demi efek dramatis, maka media telah gagal menjalankan fungsi sosialnya. Tayangan semacam itu tidak hanya menyesatkan penonton, tapi juga meneguhkan prasangka lama, bahwa kehidupan pesantren itu kolot, tertutup, dan tidak rasional. Padahal, pesantren adalah salah satu sumber nilai moral dan kebijaksanaan sosial yang masih hidup di negeri ini.

Dalam situasi seperti ini, kemarahan publik yang menuntut boikot terhadap Trans7 bukanlah bentuk intoleransi, tetapi bentuk koreksi sosial. Gerakan #BoikotTrans7 mencerminkan kekecewaan terhadap cara media memperlakukan kelompok yang selama ini jarang mendapat ruang representasi yang adil. Masyarakat tidak sedang menolak kritik terhadap pesantren, melainkan menolak cara penyampaian yang tidak beretika. Sebab kritik yang lahir tanpa pemahaman bukanlah bentuk keberanian, melainkan kelalaian.

Etika jurnalisme telah lama menegaskan bahwa setiap berita harus berimbang, akurat, dan menghormati martabat narasumber. Namun dalam tayangan tersebut, semua prinsip itu tampak diabaikan. Tidak ada konfirmasi kepada pihak pesantren, tidak ada upaya memahami konteks sosial di balik kebiasaan yang ditampilkan. Framing yang dihadirkan bukan untuk mendidik, melainkan untuk menertawakan. Padahal, ketika media mulai mengobjektifikasi kelompok tertentu, yang terancam bukan hanya reputasi pesantren, melainkan juga kualitas demokrasi kita. Sebab demokrasi yang sehat hanya dapat tumbuh dalam ruang publik yang menghormati perbedaan.

Dalam banyak literatur pendidikan Islam, adab selalu ditempatkan di atas ilmu. “Ilmu tanpa adab adalah kehancuran,” begitu salah satu pesan klasik yang diwariskan para ulama. Ironisnya, prinsip itu justru terabaikan di ruang redaksi media yang seharusnya menjadi penjaga etika sosial. Pengetahuan jurnalistik tanpa kepekaan kultural hanya akan menghasilkan konten yang dangkal dan merusak kepercayaan publik. Di tengah era keterbukaan informasi, kehilangan adab sama artinya dengan kehilangan arah.

Televisi di era digital memang menghadapi tekanan besar, bagaimana tetap relevan di tengah banjir konten yang berani. Namun tekanan itu tidak dapat dijadikan pembenaran untuk melanggar etika. Menciptakan sensasi dengan pemikiran kelompok tertentu bukanlah solusi untuk mempertahankan eksistensi, melainkan tanda kegagalan dalam berinovasi. Jika media terus memelihara pola pikir sensasional, maka yang terancam bukan hanya kredibilitas mereka, tetapi juga keutuhan sosial bangsa.

Pesantren, dengan segala kesederhanaannya, justru telah menjadi benteng moral di tengah krisis nilai modernitas. Dari pesantren lahir tokoh-tokoh yang menjaga nurani bangsa orang-orang yang membumikan nilai kejujuran, kesabaran, dan kepedulian sosial. Menggambarkan pesantren dengan cara yang salah berarti memelintir sejarah panjang kontribusi mereka terhadap republik ini. Media seharusnya hadir sebagai mitra pencerahan, bukan alat yang menanamkan stereotip baru terhadap lembaga pendidikan yang telah berakar kuat di masyarakat.

Kasus ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi seluruh industri media di Indonesia. Kebebasan berekspresi tidak pernah berarti kebebasan untuk merendahkan. Setiap narasi yang disiarkan ke publik membawa konsekuensi sosial. Dan ketika media melupakan tanggung jawab moralnya, masyarakat berhak untuk bersuara dan menuntut perbaikan. Boikot hanyalah gejala; yang lebih penting adalah kesadaran baru untuk menegakkan etika dalam penyiaran.

Dalam konteks ini, yang dibutuhkan bukan hanya permintaan maaf dari Trans7, melainkan perubahan cara pandang, dari sekadar mencari tontonan, menjadi menghadirkan tuntunan. Indonesia yang majemuk memerlukan media yang bijak, media yang memahami bahwa keberagaman budaya dan tradisi adalah sumber kekayaan, bukan bahan olok-olok. Setiap layar yang menayangkan kebenaran seharusnya juga memantulkan rasa hormat terhadap yang ditayangkan.

Adab, dalam konteks media, bukan sekadar sopan santun, melainkan kesadaran bahwa setiap kata memiliki daya. Dan daya itu bisa menyembuhkan, bisa pula melukai. Ketika tayangan televisi berubah menjadi sumber luka sosial, maka tugas publiklah mengingatkan, kebebasan tanpa tanggung jawab bukanlah kemajuan, melainkan kemunduran. Pesantren mungkin tidak akan membalas dengan amarah, tetapi masyarakat yang beradab tidak boleh diam melihat penghinaan atas nilai-nilai luhur. Sebab di antara kebisingan media hari ini, masih ada satu prinsip yang seharusnya tak tergantikan: bahwa adab adalah nyawa dari setiap bentuk komunikasi yang bermakna.

*) Penulis: Aan

**)  Seluruh isi berita, artikel, atau opini sepenuhnya tanggung penulis, tidak menjadi tanggungjawab redaksi.

***) This article was written purely by AI for the initial publication test.

More Reading

Post navigation

Leave a Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *