Home » Refleksi Menjelang Hari Santri Nasional

Refleksi Menjelang Hari Santri Nasional

Di antara riuh zaman yang kian bising oleh informasi, ada sekelompok manusia yang memilih diam dalam ketenangan ilmu. Mereka adalah santri penjaga nilai, pengembara makna, dan pewaris kebijaksanaan yang tak pernah lekang. Di sudut-sudut pesantren, di bawah atap sederhana dan kitab-kitab kuning yang menguning, lahirlah satu generasi yang mengajarkan bahwa kemajuan tidak harus kehilangan adab.

Sejarah mencatat, sebelum republik ini mengenal istilah kemerdekaan, para santri sudah lebih dulu merdeka, merdeka dalam berpikir, merdeka dalam memaknai hidup, dan merdeka dari segala bentuk penindasan batin. Mereka menulis sejarahnya sendiri, dari langkah para Walisongo yang menjadikan pesantren sebagai pusat peradaban, hingga seruan jihad yang menggema dari langgar-langgar kecil di masa penjajahan. Di tangan para santri, agama menjelma bukan sebagai dogma yang menutup, melainkan cahaya yang membuka.

Dari pondok-pondok sederhana itulah, bangsa ini belajar menulis takdirnya. Pesantren menjadi ruang yang menggabungkan langit dan bumi, antara doa dan kerja, antara ilmu dan amal. Ketika banyak bangsa lain membangun kekuatan di atas senjata, Nusantara membangun kekuatan di atas kesadaran spiritual. Santri, dengan kitab di tangan dan sandal jepit di kaki, menjadi penjaga nalar dan akhlak. Mereka tidak hanya belajar membaca teks, tetapi juga membaca realitas membaca manusia dan semesta.

Pada masa kolonial, pesantren berdiri sebagai benteng terakhir ketika segala sendi kekuasaan direbut penjajah. Dari Jombang, Tebuireng, hingga Banten dan Aceh, suara para kiai menggema menandai perlawanan. “Hubbul wathan minal iman” cinta tanah air bagian dari iman menjadi senjata moral yang lebih tajam dari peluru. Santri turun ke jalan, bukan hanya membawa bambu runcing, tetapi membawa keyakinan bahwa kemerdekaan sejati berawal dari kemerdekaan jiwa.

Setelah republik berdiri, para santri tidak menuntut imbalan. Mereka kembali ke pesantren, melanjutkan tugas yang lebih sunyi, mendidik manusia agar tetap waras di tengah euforia kemerdekaan. Dari generasi ke generasi, pesantren menumbuhkan manusia yang utuh yang tidak hanya cerdas, tetapi juga tahu tempat berpijak. Ketika modernitas datang dengan segala godaannya, pesantren tidak menolak, tetapi mengolah. Ia menyaring kemajuan dengan nilai, mengimbangi akal dengan hati.

Namun, zaman digital membawa tantangan yang lain. Dunia kini menilai dengan sorotan kamera, bukan ketulusan jiwa. Di tengah pusaran media yang kadang kehilangan arah, pesantren kembali disalahpahami dilihat dengan kacamata prasangka, disunting dengan narasi yang pincang. Salah satu media arus utama sempat menayangkan tayangan yang mengaburkan wajah pesantren, seolah tempat suci ilmu itu sarat dengan kekerasan dan kegelapan. Padahal, sejarah panjang pesantren adalah sejarah penyucian jiwa, bukan penistaan moral.

Polemik itu mengguncang, tapi juga membangunkan kesadaran baru. Bahwa di era visual ini, kebenaran pun bisa dipotong-potong, dijadikan komoditas tontonan. Santri, yang dulu belajar membaca teks klasik, kini ditantang membaca media digital yang sarat bias. Tapi pesantren, dengan kebijaksanaan lamanya, tahu cara menjawab, bukan dengan kemarahan, melainkan dengan ketenangan. Karena bagi mereka, kebenaran tidak butuh teriak, ia cukup bersinar dari kesabaran dan akhlak.

Kini, ketika dunia kehilangan arah antara moral dan modal, pesantren masih berdiri seperti pelita di tengah kabut. Santri tetap melangkah dalam senyap, menjaga nalar bangsa dari keserakahan zaman. Mereka tidak menuntut sorotan, karena mereka tahu, cahaya sejati tak perlu panggung. Di era ketika pendidikan sering kehilangan ruh, pesantren tetap setia pada yang hakiki, memanusiakan manusia.

Mungkin di mata sebagian orang, pesantren tampak tertinggal terlalu tradisional, terlalu sederhana. Tapi justru di kesederhanaan itulah letak kekuatannya. Ia tidak tunduk pada mode, tidak silau oleh tren. Pesantren adalah rumah waktu yang menyimpan ingatan bangsa. Dari generasi ke generasi, ia menjaga kesinambungan nilai, dari kitab kuning ke layar digital, dari surau bambu ke ruang virtual, santri tetap menjadi penjaga nalar dan nurani.

Ketika politik kehilangan moral dan media kehilangan nurani, santri adalah benteng terakhir peradaban. Mereka mengingatkan bahwa kemajuan tanpa adab hanyalah kehancuran yang tertunda. Dari bilik-bilik pesantren yang sunyi, suara mereka tetap bergema, bahwa bangsa ini hanya akan bertahan sejauh ia menjaga akhlak. Dan di sanalah, di antara doa dan debu, santri terus menyalakan cahaya yang tak pernah padam

*) Penulis:  Aan

**) Seluruh isi berita, artikel, atau opini sepenuhnya tanggung jawab penulis,

More Reading

Post navigation

Leave a Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *