Home » Mahasiswa dan Dunia Kerja Hari ini

Mahasiswa dan Dunia Kerja Hari ini

Di banyak ruang diskusi mahasiswa, obrolan tentang masa depan kini terdengar lebih pragmatis ketimbang idealis. Kalimat seperti “yang penting cepat kerja”, “asal gaji lumayan”, atau “aku ikut arus dulu” menjadi penanda betapa orientasi mahasiswa hari ini semakin mengarah pada rasa aman. Mapan menjadi kata kunci, bukan lagi perubahan atau gagasan. Fenomena ini tentu tak muncul tiba-tiba. Dunia kerja hari ini memang keras dan tak pasti. Sementara kampus, yang semestinya menjadi ruang pembentukan karakter dan visi sosial, justru sering kali hanya menyiapkan mahasiswa untuk menyesuaikan diri, bukan menantang keadaan. Maka jadilah lulusan yang piawai membuat lamaran, tetapi gagap membaca realitas.

Survei BPS tahun 2024 mencatat bahwa tingkat pengangguran terbuka untuk lulusan universitas masih di atas lima persen, dengan alasan dominan, kurangnya keterampilan nonteknis dan ketidaksesuaian bidang studi dengan kebutuhan industri. Sementara riset Universitas Indonesia (2023) menegaskan bahwa kesiapan kerja mahasiswa sangat ditentukan oleh motivasi, efikasi diri, dan kemampuan adaptasi, bukan semata nilai akademik. Penelitian serupa dari Universitas Pendidikan Indonesia menyebutkan, soft skills seperti komunikasi, problem solving, dan manajemen diri memiliki pengaruh signifikan terhadap kemampuan kerja lulusan. Namun faktanya, sebagian besar mahasiswa masih menilai kesuksesan dari seberapa cepat mendapat pekerjaan tetap, bukan dari sejauh mana mereka berkembang sebagai manusia yang siap menghadapi perubahan. Kampus berhasil mencetak pekerja, tapi belum tentu membentuk manusia tangguh.

Kecenderungan pragmatis ini tumbuh dari berbagai arah. Tekanan ekonomi keluarga membuat banyak mahasiswa berpikir realistis, cepat selesai kuliah, cepat kerja, agar bisa membantu orang tua. Idealisme mereka perlahan direduksi menjadi strategi bertahan hidup. Di sisi lain, sistem pendidikan yang masih berorientasi pada hasil akademik menciptakan ruang belajar yang sempit. Mahasiswa dibiasakan untuk menerima alih-alih mencoba. Akibatnya, mereka kurang terbiasa dengan ketidakpastian sesuatu yang justru menjadi bagian utama dari dunia kerja modern.

Budaya digital memperkuat citra sukses yang instan. Media sosial memamerkan gaya hidup mapan anak muda seolah kesuksesan hanya soal uang dan posisi. Mahasiswa pun merasa tertinggal jika belum punya jabatan atau penghasilan tetap. Idealisme, pada titik ini, dianggap mewah dan tidak efisien. Sementara itu, dunia kerja yang makin tak menentu dengan otomatisasi, ekonomi gig, dan kontrak jangka pendek menciptakan ketakutan baru: kalau terlalu pilih-pilih, bisa tak kerja sama sekali. Maka pragmatisme dianggap lebih aman daripada idealisme yang berisiko.

Masalahnya, orientasi semacam itu pelan tapi pasti mengikis daya juang. Banyak mahasiswa kini berorientasi pada “yang penting dapat kerja”, bukan “apa yang bisa saya kontribusikan.” Mereka bekerja demi bertahan, bukan berkembang. Dalam jangka panjang, hal ini berbahaya. Kreativitas menjadi tumpul karena keberanian mengambil risiko menghilang. Profesionalisme menjadi dangkal karena kerja hanya untuk memenuhi target. Krisis kepuasan kerja meningkat karena banyak yang terjebak di bidang yang tak mereka cintai. Bahkan solidaritas melemah, sebab semua sibuk bersaing untuk bertahan. Dalam konteks yang lebih luas, bangsa pun kehilangan potensi besar: generasi muda yang mestinya jadi motor perubahan malah sibuk menyesuaikan diri dengan sistem yang tak adil.

Namun, pragmatisme bukan dosa. Ia adalah bentuk insting bertahan hidup di tengah ketidakpastian ekonomi. Masalahnya bukan pada pragmatisme itu sendiri, melainkan ketika ia menjadi satu-satunya arah hidup. Yang dibutuhkan mahasiswa hari ini adalah keseimbangan antara realisme dan idealisme kemampuan untuk membaca realitas tanpa kehilangan nilai yang diyakini. Di sinilah peran kampus menjadi krusial. Kampus seharusnya bukan sekadar pabrik gelar, melainkan laboratorium kehidupan tempat mahasiswa diuji mental, nalar, dan empatinya. Mahasiswa perlu dikenalkan dengan dunia kerja bukan hanya lewat seminar karier, tetapi lewat pengalaman nyata: proyek sosial, magang berbasis tantangan, atau penelitian yang relevan dengan problem masyarakat.

Selain itu, soft skills tak bisa lagi diperlakukan sebagai pelengkap. Komunikasi, kepemimpinan, daya tahan terhadap tekanan, dan kemampuan berpikir kritis harus diajarkan sejak awal, bukan lewat pelatihan seremonial menjelang wisuda. Yang juga tak kalah penting adalah mentoring personal. Mahasiswa membutuhkan figur panutan dosen, praktisi, atau alumni yang membimbing tanpa mematikan idealisme mereka. Sebab banyak mahasiswa kehilangan arah bukan karena malas, tapi karena tak tahu harus mulai dari mana.

Pada akhirnya, mahasiswa harus kembali menyadari bahwa dunia kerja bukan sekadar tempat mencari nafkah, tapi ruang aktualisasi nilai. Dunia kerja bisa keras, tapi tanpa nilai-nilai kemanusiaan, ia hanya menjadi arena persaingan tanpa makna. Maka idealisme bukan barang usang. Ia justru menjadi bahan bakar agar generasi muda tak mudah menyerah di tengah realitas yang cair. Di tengah dunia yang menuntut kecepatan dan hasil, mahasiswa tetap perlu menjaga satu hal yang tak bisa digantikan mesin: nurani dan arah hidup. Cepat mapan boleh, tapi jangan kehilangan makna. Karena yang lebih penting dari sekadar bekerja adalah tahu mengapa kita bekerja dan untuk siapa kerja itu berarti.

*) Penulis: Aan

**) Seluruh isi berita, artikel, atau opini sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi tanggung jawab redaksi.

More Reading

Post navigation

Leave a Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *